Wednesday, June 24, 2020

LUKISAN BUNGA DALAM KERANJANG ( BY DANIEL DE QUELYU )



LUKISAN BUNGA DALAM KERANJANG
BY DANIEL DE QUELYU.
0818597166

Lama sudah rasanya tidak pulang kerumah tempat kelahiran, setelah orang-orang yg dicintai sudah tak lagi ada dan saudara-saudara yg dikasihi telah lama pergi meninggalkan rumah kayu. Kadang timbul kerinduan untuk berkumpul kembali dan mendengar gelak tawa serta canda ria bersama seperti waktu kecil dulu....

Rumah kayu yang berdinding papan disaat hujan dinginnya menusuk hingga ketulang, dan monopoli selimut diwaktu tidur sering kali diahiri dengan tangisan sibungsu yang selalu gagal mendapatkan selimut diantara saudara lelakinya.

Rumah kayu yang berhalaman luas selalu memberi tempat bagi kami bersaudara bermain petak umpat. Rumah yang selalu hangat dengan celoteh dan teriakan serta tangis kecil kami. Juga rumah impian setiap anak untuk melepaskan penat setelah seharian beraktivitas.

Dan pagi hari adalah momen terindah dari seluruh bentang waktu yang ada, dimana akan tampak halimun bergayut mesra memeluk genting merah rumah kayu, seakan enggan untuk berpisah ...

Hamparan rumput hijau yang berselimut embum tipis dan bunga2 seribu bermunculan dirimbun daunnya, tumbuh subur disekeliling rumah dengan aneka warna yang memukau, putih, biru muda, ungu pucat, pinky serta kuning .....

Namun kini rumah kayu sudah semakin tua dan sepi, seakan kehilangan gairah setelah ditinggal pergi para penghuninya. Tahun-tahun yang penuh dengan bahagia seakan lenyap dan berlari entah kemana.
Hanya bunga2 seribu yang masih setia untuk tersenyum walau tak lagi cantik seperti dulu. Bunga2 seribu senantiasa memanggilku pulang, tuk mengingat akan sagalanya. Tentang mimpi yang terlewatkan,....

Lukisan dibawah ini terinspirasi akan kerinduan rumah tua di kampung halaman yang berdinding papan. Sekeranjang bunga seribu tergantung digagang pintunya, seakan berkata....... WELCOME HOME GUYS!

Judul Lukisan : Welcome Home (2014)
Ukuran : 100 x 120 cm







LUKISAN PERAHU LAYAR ( YACHT)


LUKISAN PERAHU LAYAR (YACHT)

Seorang direktur sebuah bank ternama suatu senja mengontak hp saya untuk menemuinya disebuah cafe. Ia teman baik saya dan begitu ketemu ia menyampaikan maksudnya memanggil saya, bahwasanya ia membutuhkan beberapa lukisan untuk dipajang dibeberapa ruang dalam kantornya.
Lalu ia mengajak saya ke-kantornya, berkeliling keruangan yang membutuhkan lukisan untuk dipajang. Saya kemudian mengukur panjang dan tinggi dinding agar dapat menentukan besar lukisannya, dan karakteristik serta tema lukisan. Semuanya berjalan dengan lancar dan sesuatunya sudah disepakati.
Dan sebelum pulang ia menyodorkan sebuah foto utk dilukis, sebuah perahu layar (yacht) yang sedang berlayar di perairan Saint Tropez-Perancis. Sang direktur mengatakan bahwa foto itu merupakan sebuah dream baginya dan lukisan tersebut akan dipajang diruangannya.

Setelah satu bulan semua pesanan sudah selesai dan siap dipajang. Semua lukisan ditempatkan pada posisinya dan lukisan perahu layar (yacht) dipasang diruangan sang direktur. Lukisan tersebut saya beri judul YANG PERGI YANG BERLAYAR. Selang beberapa bulan teman saya sang Direktur tersebut dipindahkan kekantor pusat di Jakarta, menduduki jabatan yang lebih tinggi lagi.
Selamat jalan sahabat kiranya sukses menyertaimu selalu.

Judul : YANG PERGI YANG BERLAYAR (SOLD OUT)
Oil on canvas 70x100 cm

DQ Art Gallery menerima pesanan art painting :
Semua aliran lukisan
Email : danieldq2016@gmail.com
SMS/WA :0818597166









KISAH MIRIS DIBALIK PATUNG PANCORAN

TAK BANYAK YANG TAHU KISAH MIRIS DI BALIK PATUNG PANCORAN

Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!”
Demikian percakapan Bung Karno dengan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara, Jakarta, 1964 yang menyiratkan betapa bangganya Presiden pertama Indonesia itu dengan heroisme para penerbang Indonesia. Ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan permasalahannya.
Suatu hari penulis memiliki kesempatan untuk melakukan wawancara langsung dengan Edhi Sunarso (82), pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno di kediamannya di Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogyakarta.
Dalam kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang tahun 1953 yang dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu dengan Bung Karno.
Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi dan berkata, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London dengan judul “Unknown Political Prisoner”.
Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut. Dalam hati, Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk Ngatung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.
Ketiga pematung andalan Indonesia ini kemudian melahirkan patung Selamat Datang yang hingga kini bisa kita nikmati di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek. Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.
“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar.
Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.”
Setelah model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhie mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah.
“Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,” ujar Edhie. “Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut Edhie. “Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno.
Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain Edhie juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank.
Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai. “Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” ujarnya.
Februari 1970, di sela-sela pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie mendapat panggilan panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Edhie melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, serta pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya. “Saudara Edhie, piye kabare?” kata Bung Karno. “Patung Dirgantara nang endi?”
“Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)” jawab Edhi.
“Kok durung dipasang? tanya Bung Karno.
Nyuwun pangapunten, Pak. Kulo sampun mboten gadah arto, kepeksa sedaya pekerjaan kulo kendelaken, (Mohon maaf pak. Saya sudah tidak memiliki uang. Terpaksa semua pekerjaan saya tangguhkan). Saya disegel, karena masih punya utang.”
Bung Karno terenyuh. Tidak berapa lama ia memanggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakang Bung Karno.
“Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,” ujar bung Karno.
Setelah itu Edhie pamit pulang ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta. Sebelum pulang, seorang staf Bung Karno menyerahkan uang sebesar Rp1.750.000 kepada Edhi untuk biaya transportasi pengangkutan patung ke Jakarta.
Tak sampai meresmikan
Satu minggu pekerjaan berjalan, Bung Karno melihat langsung pengerjaan merangkai patung. Setiap bagian yang diangkat rata-rata seberat 80-100 kg. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang dan setiap sambungan dilas.
Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Edhie melihat ke bawah dan terlihat banyak orang berkerumun termasuk Bung Karno. Padahal, kondisi kesehatan Bung Karno saat itu sedang tidak baik dan ia sudah tinggal di Wisma Yaso. Edhie pun bergegas untuk turun, namun dilarang oleh Bung Karno.
Minggu pertama April 1970, pemasangan patung sudah sampai di bagian pundak dan tangan kanan sudah terpasang. Sedangkan tangan kiri dalam tahap penyambungan. Dalam kondisi yang kurang sehat, Bung Karno kembali meninjau proses pemasangan. Seperti yang pertama, Edhi segera bergegas untuk turun dari atas, tetapi lagi-lagi dilarang oleh Bung Karno. Bung Karno meminjam megaphone pasukan pengawal agar saya terus bekerja.
Mei 1970, Edhi mendengar kabar kalau Bung Karno akan melakukan inspeksi untuk ketiga kalinya. Akan tetapi hal itu ternyata tidak pernah terlaksana karena sakit Bung Karno semakin serius .
Pagi pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi yang kala itu sedang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen. Ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.
Badan Edhie lemas. Ia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.
Semingu setelah pemakaman Bung Karno, Edhie bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan. Edhie meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.
Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.
“Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karaya-karya monumental Bung Karno,” kata Edhi.(Dikutip dari ANGKASA)














\